Sudah
bukan berita aneh lagi ketika kita mendengar terjadi kasus korupsi di
Indonesia, juga dengan hukumannya yang tergolong ringan, dibanding
nominal yang telah dikurasnya. Yang terbaru adalah Gayus HP Tambunan,
yang terseret 4 kasus korupsi dan pencucian uang, dijatuhi vonis 8 tahun
penjara. Sementara itu, mantan Menteri Dalam Negeri yang terbukti
bersalah dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan
merugikan negara Rp 97 miliar, hanya terkena vonis 2 tahun 6 bulan
penjara. Dalam kasus lain, beberapa tersangka penerima cek pelawat dalam
kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mendapat hukuman
bervariasi, mulai dari 1 tahun 3 bulan penjara, sampai 2 tahun 6 bulan
penjara. Bahkan di beberapa tempat di Indonesia, sidang tipikor yang
seharusnya menghukum koruptor dengan seberat-beratnya agar menimbulkan
efek jera bagi yang bersangkutan, justru malah menghasilkan vonis bebas.
Akan
tetapi, hal yang berkebalikan terjadi jika menyangkut rakyat kecil.
Belum lama berselang, seorang bocah yang mencuri sandal jepit milik
seorang polisi, terancam hukuman lima tahun penjara. Juga beberapa hari
lalu, dua orang pemuda difabel (cacat mental) ditahan karena mencuri
sembilan tandan pisang yang harganya tidak sampai seratus ribu. Ada lagi
kasus dimana seorang bocah dibui lima tahun hanya karena mencuri pulsa
sepuluh ribu. Bahkan ada juga seorang nenek yang ditahan satu bulan
hanya karena mencuri tiga butir kakao.
Oke,
terlepas dari apapun alasannya, mencuri adalah suatu perbuatan tercela
yang pantas mendapatkan hukuman. Akan tetapi, pantaskah ketika hukuman
tegas tersebut hanya diberikan kepada rakyat kecil? Ketika golongan
berduit yang mencuri uang rakyat, bahkan ketika kerugian yang
ditimbulkannya jauh lebih besar dibanding nominal curian sang rakyat
kecil, hukuman yang diberikan terkesan lebih ringan. Hukum di negeri ini
cenderung tidak berdaya melawan penguasa dan pemilik modal. Para elite
negeri ini dapat dengan mudah berkelit dari jeratan hukum, menggunakan
kekuasaan dan uang yang ia miliki. Bahkan tidak hanya perangkat
hukumnya, aparat penegak hukum juga pemerintah saat ini kurang memiliki
keberpihakan terhadap rakyat kecil. Termasuk diantaranya adalah kurang
membantu rakyat kecil untuk memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan
hukum.
Guru
Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Mudji Santoso berpendapat,
boleh dibilang hukum di Indonesia saat ini justru menjadi sumber dari
ketidak adilan. Bisa disimpulkan seperti ini, karena hampir semua
perangkat hukum di Indonesia memihak pada pemegang kekuasaan dan pemilik
modal, bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan justru
ditentukan oleh kombinasi dari permainan kepentingan, kekuasaan,
jabatan, dan uang. Kondisi ini sangat berbahaya, karena yang berlaku
dalam kehidupan ini semakin mirip dengan hukum rimba. Siapa yang kuat,
ia yang menang. Masyarakat akan mengalami krisis, dan hukum akan
terlecehkan.
Putusan
bersalah yang dijatuhkan pada AAL yang mencuri sendal jepit itu karena
hakim terlalu kaku dalam menilai suatu perkara. Hakim justru tak mampu
memahami esensi dari hukum, serta kearifan yang terkandung dalam aturan
hukum. Hakim bukanlah komputer yang jika diinputkan suatu nilai, maka
outputnya pasti adalah hasil operasi dari nilai tersebut tanpa melihat
faktor-faktor lain diluar nilai tersebut. Suatu kesalahan dalam membuat
suatu putusan apabila mengaplikasikan ketentuan tanpa melihat substansi
dari hukum itu sendiri. Sebagai contoh adalah terdapat dua fakta.
“Mencuri merupakan sebuah tindakan pidana”. “Pelaku tindak pidana harus
dihukum”. Maka, ketika didapati ada seseorang mencuri sendal jepit, maka
ia pun harus dihukum. Sebetulnya, hal itu tidak benar. Hakim juga harus
mempertimbangkan beberapa aspek lainnya, seperti siapakah yang
mencurinya, dan apa alasannya. Sebetulnya, sifat perbuatan melawan hukum
itu bisa dihilangkan atau dikurangi dengan cara melihat besarnya
kerugian atau dampak yang ditimbulkan pada masyarakat. Untuk beberapa
kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pisang, atau kakao,
pendekatan seperti itu biasa disebut pendekatan keadilan restoratif
(restorative justice).
Hukum
terlalu tajam bagi rakyat kecil. hal ini dikarenakan rakyat kecil tidak
dilindungi oleh organisasi atau struktur. Kekuatan politik masyarakat
masih lemah. Berbeda dengan pelaku korupsi yang justru dilindungi oleh
partai politik atau bahkan oleh pemerintah.
Dan
juga, apakah penegakan hukum seperti ini mampu menimbulkan efek jera
bagi pelaku korupsi yang jelas-jelas merugikan negara sampai milyaran
rupiah? Sama sekali tidak. Selama uang masih bisa berbicara, selama
aparat hukum masih terbuai dengan materi dan nafsu duniawi, hal ini
tidak akan bisa berlaku efektif. Kita tentunya belum lupa dengan adanya
sel penjara yang layaknya hotel berbintang, dilengkapi dengan spring
bed, TV, serta salon pribadi. Dan kita juga belum lupa kasus tahanan
lembaga pemasyarakatan yang dengan suksesnya menyuap aparat untuk bisa
menonton turnamen tenis di Bali, juga bertamasya ke Macau. Dua hal ini
menjadi bukti jelas betapa penegakan hukum di Indonesia masih mudah
dibeli menggunakan uang.
Untuk
para aparat penegak hukum, tegakkanlah hukum tanpa pandang bulu dan
tegaslah dalam bertindak. Dua hal itu apabila dilakukan dengan konsisten
akan cukup untuk menjadikan negara tercinta bersih dari korupsi.
Diperlukan orang-orang yang beriman dan jujur untuk mengawal hukum
negeri ini menjadi lebih tegas dan adil. Indonesia tidak akan pernah
bebas dari korupsi jika penegakan hukumnya tidak tegas dan tanpa saksi
yang berat.
Saya
sadari opini saya mungin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai
mahasiswa saya ingin mengimplementasikan apa yang disebut sebagai Peran
dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula,
kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita,
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat.”
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking